Idle Mage: Humanity’s Strongest Backer - Chapter 388
Only Web ????????? .???
Bab 388 Terjebak, Lagi
Bab SebelumnyaBab Berikutnya
Di kedalaman kesadaran Dewa Surgawi, benih kebingungan mulai tumbuh, menumbuhkan sulur-sulur kebingungan. Matanya, yang telah menyaksikan kehancuran yang menimpa umat manusia, tertuju pada Ashton, yang seharusnya menjadi pemimpin umat manusia, dan rasa bingung merayapi pikiran ilahinya.
Bagaimana mungkin manusia fana ini, Ashton, berdiri di hadapannya dengan sikap acuh tak acuh seperti itu? Persepsi ilahi Dewa Surgawi telah menyaksikan jatuhnya peradaban besar, kematian banyak sekali nyawa, dan penderitaan kehilangan terukir di wajah orang-orang yang ditinggalkan. Namun, wajah Ashton tetap tidak tersentuh oleh beratnya tragedi yang menimpa rakyatnya.
Riak ketidakpastian muncul dalam esensi ilahi Dewa Surgawi. Bukankah kesedihan dan keputusasaan dari peristiwa dahsyat seperti itu seharusnya memengaruhi bahkan para pemimpin yang paling teguh sekalipun? Ikatan yang terjalin antara Ashton dan para Panglima Besar yang gugur terlihat jelas, persahabatan mereka terjalin melalui cobaan dan kesengsaraan. Namun, saat dia menatap wajah Ashton yang tak tergoyahkan, rasa bingung merasuki kesadaran ilahinya.
Apakah Ashton telah melepaskan diri dari penderitaan kerabatnya, hatinya menjadi mati rasa karena kengerian perang? Atau adakah kedalaman tersembunyi dalam ketabahannya, tekad misterius yang luput dari pemahaman Dewa Surgawi? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar-putar dalam kesadaran ilahinya, menebarkan tabir ketidakpastian pada permadani kemenangannya yang agung.
Saat Dewa Surgawi merenungkan teka-teki ketenangan Ashton, secercah rasa ingin tahu menyala dalam dirinya. Di balik kekuatannya yang luar biasa dan pengetahuan yang tak terduga, ia berusaha mengungkap teka-teki manusia fana ini yang menentang beratnya tragedi. Rahasia apa yang tersembunyi di kedalaman hati Ashton? Alasan apa yang bisa membuatnya tampak tidak tersentuh oleh rasa sakit yang menghancurkan rakyatnya?
Meskipun tatapan Dewa Surgawi tetap tertuju pada medan perang yang hancur dan sisa-sisa umat manusia, sebagian kesadarannya menyelami kedalaman pikirannya yang berliku-liku. Makhluk surgawi itu bertekad untuk mencari jawaban, untuk memahami teka-teki membingungkan dari sikap Ashton yang acuh tak acuh di tengah reruntuhan dunia mereka bersama.
“Pikiranmu tidak salah,” suara Ashton bergema di dalam relung pikiran Dewa Surgawi seolah-olah dia bisa menembus penghalang ilahi yang memisahkan keberadaan mereka.
“Biasanya, saat menghadapi kehilangan dan kehancuran seperti itu, saya akan diliputi kesedihan,” lanjut Ashton, nadanya diwarnai dengan ketenangan yang mencekam.
“Tapi hanya jika itu nyata.”
Only di- ????????? dot ???
Keheningan yang membingungkan menyelimuti medan perang saat kesadaran Dewa Surgawi bergulat dengan implikasi dari kata-kata Ashton. Struktur realitas tampak memudar ke latar belakang, dikalahkan oleh rasa terkejut yang mencengkeram makhluk surgawi itu.
Lalu, seolah mengungkap rahasia yang sudah lama tersimpan, suara Ashton bergema dengan keyakinan yang mengerikan. “Kau lihat, sejak awal perang ini, semua yang telah terungkap di hadapanmu hanyalah mimpi panjang. Sebuah rekayasa kesadaranmu sendiri, sebuah kisah yang dipintal oleh hasrat dan ketakutan pikiranmu.”
Dewa Surgawi, dengan kehadiran ilahinya yang gemetar, berjuang untuk memahami besarnya wahyu Ashton. Bagaimana mungkin? Pertempuran besar, nyawa yang hilang, jalinan rumit takdir yang terjalin di sepanjang permadani surgawi—hanya isapan jempol dari mimpi?
Kata-kata Ashton bergema dengan kejelasan yang tidak wajar. “Kerinduanmu akan tantangan dan penaklukan, dahagamu akan validasi dan kendali, melahirkan konflik ilusi ini. Pasang surut pertempuran, jatuhnya peradaban kita, tidak lebih dari sekadar pecahan imajinasimu.”
Ilusi agung itu hancur di sekitar Dewa Surgawi, pecahan-pecahan alam fantasi itu larut ke dalam eter. Beban kesadaran itu membebani dirinya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kenangan yang terfragmentasi dan ambisi yang belum terwujud.
“Dengan segala kekuatan yang kau miliki, bahkan kau, Sang Dewa Surgawi, tidak kebal terhadap kerumitan pikiran,” suara Ashton bergema, diwarnai dengan kehadiran yang halus. “Keinginanmu untuk menantang takdir itu sendiri, untuk melenyapkan ras yang cukup damai hanya karena ramalan acak, membawamu ke sini… membawamu kepadaku.”
Jeda yang serius mengisi kekosongan saat kata-kata Ashton terngiang di udara. Dewa Surgawi, esensi ilahinya terguncang hingga ke intinya, menghadapi kenyataan bahwa penaklukan agungnya hanyalah fatamorgana yang fana. Dalam menghadapi wahyu ini, fondasi keberadaannya bergetar, membuatnya terhuyung-huyung di jurang pemahaman.
Baca Hanya _????????? .???
Hanya di Web ɾιʂҽɳσʋҽʅ .ƈσɱ
“Dan sekarang, saat mimpi memudar dan kenyataan kembali menguasainya, ujian sesungguhnya dimulai,” suara Ashton bergema dengan perpaduan antara empati dan tekad. “Karena di dalam alam mimpi, terdapat potensi untuk tumbuh, untuk penebusan, dan untuk lahirnya fajar baru.”
Saat Dewa Surgawi bergulat dengan pusaran emosi dan pengungkapan yang bergejolak, secercah ketidakpastian dan kemungkinan muncul dalam keberadaan ilahi-Nya.
***
Dewa Surgawi, yang dikuasai oleh pusaran keputusasaan dan ketidakpercayaan, melancarkan pertempuran internal melawan batas-batas ciptaannya sendiri. Dengan setiap upaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman mimpi, ia berusaha melawan rantai halus yang menahannya.
Ia mengerahkan seluruh kekuatan ilahinya, melepaskan aliran deras surgawi yang merobek jalinan alam ilusi. Namun, betapa pun ganasnya serangannya, mimpi itu bertahan, memperbaiki dirinya sendiri dengan mudah, seolah mengejek usahanya yang sia-sia.
Dalam kemarahan dan keputusasaan, Dewa Surgawi mengalihkan perhatiannya ke Ashton, wujud halusnya berdenyut dengan amarah yang membara. Ia menyerang penculiknya yang misterius, esensi ilahinya menyatu menjadi pukulan dahsyat yang ditujukan untuk melenyapkan sumber kurungannya.
Namun Ashton, yang diselimuti aura ketenangan yang tak tertembus, dengan mudah menghindari serangan Dewa Surgawi. Setiap serangan, setiap upaya untuk mengakhiri mimpi, berhasil dihindari dengan cekatan, membuat makhluk surgawi itu hanya bisa meraih udara.
Kesadaran itu menghantam Dewa Surgawi dengan keras—kebenaran bahwa pelariannya tidak berada di tangannya sendiri, tetapi di tangan orang yang telah menenun mimpi rumit ini. Ketakutan merayap ke dalam kesadarannya, terjalin dengan sulur-sulur keraguan yang tumbuh di dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya dalam keberadaannya di surga, Dewa Surgawi merasakan kerentanan yang mendalam. Dia berdiri di ambang sebuah wahyu, berhadapan dengan gagasan yang membingungkan bahwa kemahakuasaan dan kemahatahuannya menjadi tidak berdaya di hadapan Sang Penenun Mimpi yang penuh teka-teki ini.
Saat ia mengamati wajah Ashton yang tenang, ketakutan Dewa Surgawi meningkat. Bagaimana jika ini sama sekali bukan mimpi? Bagaimana jika ini adalah penjara, yang dibuat dengan hati-hati untuk mengurungnya selamanya? Benih keraguan berakar, sulurnya merayap melalui hamparan luas kesadaran ilahinya.
Menghadapi usahanya yang gagal dan menyadari ketidakberdayaannya, Dewa Surgawi mundur, aura keilahiannya berkedip-kedip karena ketidakpastian. Ia menyadari bahwa pelariannya, kebebasannya dari ilusi ini, bergantung pada kemauan Ashton saja.
Read Web ????????? ???
Rasa dingin menjalar ke seluruh makhluk surgawi itu, saat besarnya kesulitan yang dihadapinya menimpanya. Ia telah menjadi tawanan ciptaannya sendiri, bergantung pada belas kasihan penenun mimpi yang memegang kunci pembebasannya. Kesadaran itu menghantamnya bagai petir, membuatnya merasa gentar dan tak henti-hentinya ingin memahami motif dan niat orang yang telah menjeratnya dalam jaringan ilusi yang rumit ini.
Senyum Ashton yang penuh teka-teki melebar saat dia menyaksikan kesadaran Dewa Surgawi bahwa pelarian berada di luar jangkauannya. Lingkungan halus dari alam mimpi bergeser dan berubah, berubah menjadi bayangan cermin dari kenyataan itu sendiri. Mimpi yang dulu sulit dipahami kini mencerminkan perang yang sedang berlangsung, dimensi alternatif tempat mereka dapat mengamati peristiwa yang terjadi di dunia nyata.
Dengan sikap tenang dan kalem, Ashton mengalihkan pandangannya ke arah Dewa Surgawi, matanya berkilauan dengan cahaya yang tidak wajar. “Tenang saja, aku tidak bermaksud memenjarakanmu di sini tanpa batas waktu,” katanya dengan nada terukur. “Namun untuk saat ini, kita akan tetap menjadi pengamat, tersembunyi dari jangkauan dunia luar. Kita akan menjadi saksi puncak perang, membiarkan takdir menentukan pemenangnya.”
Mata Dewa Surgawi membelalak karena campuran antara keheranan dan kepasrahan. Dia memahami besarnya situasi, implikasi dari terkurung di alam halus ini, terputus dari segala bentuk kontak dengan dunia luar. Dia hanyalah seorang penonton, dikutuk untuk menyaksikan perjuangan saudara-saudara surgawinya dan umat manusia tanpa sarana apa pun untuk campur tangan.
Kata-kata Ashton bergema dalam keheningan, terasa berat di udara. Dewa Surgawi merasakan gelombang frustrasi dan kemarahan, tetapi dia tahu bahwa perlawanan itu sia-sia. Kekalahannya, keterjebakannya dalam dunia mimpi ini, telah membuatnya tak berdaya.
Sebuah pemahaman serius terjalin di antara mereka, karena mereka berdua memahami betapa seriusnya keadaan mereka saat ini. Niat Ashton, meskipun misterius, mengandung aura tujuan dan perhitungan. Nasib perang, takdir alam surgawi dan manusia, akan terungkap di depan mata mereka, terlepas dari pengaruh langsung mereka.
Hati Dewa Surgawi dipenuhi dengan campuran emosi—rasa frustrasi, rasa ingin tahu, dan secercah harapan. Ia menyadari bahwa meskipun ia kalah dan dipenjara, masih ada kesempatan untuk penebusan, kesempatan untuk mendapatkan kembali kebebasannya. Ia dengan enggan menerima perannya sebagai penonton yang tertawan, pasrah pada kejadian-kejadian yang tak terelakkan di luar kendalinya.
“Sekarang, mari kita lihat bagaimana perang sebenarnya dimulai…”
Only -Web-site ????????? .???